Rabu, 15 Desember 2010

PANEN DAN PENANGANAN PASCA PANEN JAMUR TIRAM


PANEN DAN PENANGANAN PASCA PANEN JAMUR TIRAM


A.   PENDAHULUAN

Panen dan penanganan pasca panen merupakan kegiatan akhir dari proses budidaya jamur. Pemanenan sangat berpengaruh terhadap kualitas jamur yang dipanen, termasuk didalamnya adalah kualitas dan daya tahan jamur yang dipanen. Teknik panen yang kurang baik bahkan dapat mengakibatkan kerusakan media tumbuh jamur yang pada akhirnya mengurangi produktivitas jamur yang dihasilkan.

Penanganan jamur setelah panen dapat mempengaruhi kualitas jamur, bila penanganan pasca panen kurang baik biasanya kualitas jamur kurang baik. Contoh penanganan pasca panen yang kurang baik adalah pengemasan dan penyimpanan yang kuran baik sehingga penampilan jamur menjadi tidak menarik, bahkan cenderung rusak.

B.   PANEN

Panen jamur pada satu media tanam dapat dilakukan beberapa kali. Media tanam jamur dengan ukuran± 800 gram dapat panen selama 4-5 kali. Jarak waktu antara panen pertama dan kedua secara umum terjadi antara 7-14 hari. Namun demikian kecepatan pertumbuhan tersebut juga sangat dipengaruhi konisi lingkungan tempat pertumbuhan jamur yang digunakan. Kegiatan pemanenan sangat menentukan kualitas jamur yang dihasilkan. Oleh karena itu dalam pemanenan perlu memperhatikan beberapa hal antara lain penentuan saat panen dan teknik pemanenan itu sendiri.
    
Pemanenan dilakukan pada saat jamur mencapai pertumbuhan yang optimal, yakni ukurannya cukup besar, tetapi tudungnya belum mekar penuh (ditandai pada bagian pinggir tudung jamur masih terlihat utuh/belum pecah-pecah). Ukuran diameter jamur yang siap dipanen rata-rata mencapai 5-10 cm. Pemanenan biayanya dilakukan 3-5 hari setelah calon jamur mulai tumbuh. Waktu pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari agar kesegaran jamur dapat dipertahankan, dan untuk mempermudah dalam pemasarannya. Namun demikian pemanenen dapat juga dilakukan pada waktu yang lain sesuai dengan kebutuhan pasar.

Gambar Jamur siap panen.

Pemanenan jamur dilakukan dengan teknik/cara mencabut seluruh  tanaman jamur yang ada. Pemanenan tidak dapat dilakukan dengan memotong bagian/cabang jamur yang berukuran besar saja, sebab sisa jamur yang ditinggalkan tersebut tidak akan tumbuh menjadi besar, bahkan akan layu/mati. Hal ini disebabkan pada satu tanaman mempunyai stadia tumbuh yang sama. Pencabutan tanaman sampai ke akarnya dimaksudkan untuk menghindari adanya sisa akar atau batang tertinggal, sehingga dapat merusak media (media menjadi busuk) yang dapat berakibat merusak pertumbuhan jamur selanjutnya.

Jamur yang telah dipanen (dicabut), pada bagian akarnya masih banyak menempel kotoran berupa serbuk kayu (media tumbuh), sehingga pada bagian akar tersebut harus dibersihkan dengan memotong bagian tersebut dengan menggunakan pisau yang bersih (lebih baik pisau stainless steel). Dengan cara tersebut, disamping kebersihan jamur lebih terjaga, daya simpan jamur menjadi lebih lama. Pemotongan bagian jamur tidak perlu dipotong pada setiap cabang-cabangnya, sebab apabila hal tersebut dilakukan akan memacu tingkat kerusakan jamur, seperti cepat layu atau cepat busuk.
 
Gambar Pemanenan jamur dengan cara mencabut


C.   PENANGANAN PASCA PANEN

Pemasaran jamur dapat dilakukan dengan menggunakan kemasan (biasanya menggunakan cawan styrofoam dan ditutup dengan plastik film) atau tanpa kemasan. Apabila jamur tersebut dijual dengan kemasan, masalah transportasi dalam pemasaran tidak begitu bermasalah. Akan tetapi bila pemasaran dilakukan tanpa kemasan, apabila lokasi pasar cukup jauh maka dalam pemasarannya perlu wadah yang terlindung dari sinar matahari tetapi mempunyai aerasi yang  cukup. Oleh karena itu apabila pemasaran dilakukan dalam jumlah besar dan jauh, hendaknya menggunakan kendaraan yang dilengkapi dengan pendingin.

Selasa, 14 Desember 2010

WEDANG SECANG MINUMAN TRADISIONAL YANG SEGAR, NIKMAT DAN BERKHASIAT

Indonesia merupakan laboratorium tanaman obat terbesar di dunia, karena sekitar 80% herbal dunia tumbuh di sini. Indonesia memiliki 35.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi, 3.500 diantaranya dilapoakan sebagai tumbuhan obat (Trubus, 2010). Berbagai minuman tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan banyak digunakan oleh masyarakat di Indonesia sejak jaman dulu. Teh secang atau lebih dikenal sebagai wedang secang merupakan salah satu jenis teh herbal yang ada di Indonesia khususnya di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur. Wedang secang biasanya dijual di pasar tradisional dalam bentuk ramuan herbal (teh herbal).

Teh herbal (tisane, herbal tea) adalah sebutan untuk ramuan bunga, daun, biji, akar, atau buah kering dalam membuat minuman (http://id.wikipedia.org/wiki/Teh_herbal). Teh herbal merupakan infus atau tisane yang terbuat dari berbagai daun, bunga, buah, atau jamu (Ni Maosing, 2010). Salah satu cara penyajian minuman/teh herbal tersebut adalah dalam bentuk simplisia.

Pengertian wedang secang ada berbagai macam namun pada intinya wedang secang dapat didefinisikan sebagai minuman tradisional berwarna merah yang berasal dari pewarna alami dari secang dan beraroma segar karena mengandung berbagai rempah-rempah di dalamnya. Wedang secang pada awalnya merupakan minuman tradisional keraton Yogyakarta dan masyarakat Jawa Tengah (Trubus, 2010). Sedangkan Charisis (2008) dalam Anonim (2008) menyatakan bahwa wedang secang merupakan minuman tradisional secang dianggap merupakan warisan turun-temurun bagi masyarakat di wilayah Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Minuman tradisional ini diyakini sebagai salah satu minuman favorit Raja Majapahit ini, yang kerap digunakan oleh warga untuk meningkatkan stamina.

Minuman secang biasa disajikan pada kondisi hangat, namun minuman ini dapat juga disajikan dalam kondisi dingin. Bahkan untuk meningkatkan kesegarannya, bagi yang menyukai rasa asam dapat menambahkannya dengan air jeruk nipis. Menurut Ristina (2009), Manfaat wedang secang antara lain dapat mengatasi gangguan pembuluh darah koroner yang menyempit, dan berfungsi mengurangi tekanan darah sehingga perdaran darah menjadi lancar. Selain itu wedang secang juga bermanfaat untuk menghangatkan tubuh, mencegah masuk angin, dan member rasa nyaman pada perut (Trubus, 2010).

1. Bahan-bahan pembuat wedang secang
Jenis dan jumlah bahan yang digunakan untuk membuat wedang secang berbeda-beda dari masing-masing daerah, bahkan dari bisa berbeda antara penjual ramuan wedang secang. Beberapa komposisi wedang secang baik dijual dalam bentuk racikan maupun yang diperoleh berdasarkan kajian referensi disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Aneka formulasi teh secang









diolah dari berbagai sumber

2. Secang dan Manfaatnya
Secang (Caesalpinia sappan L.) adalah tumbuhan berwujud pohon anggota suku polong-polongan (Fabaceae). Tumbuhan ini berasal dari Asia Tenggara Kepulauan dan mudah ditemukan di Indonesia. Kulit kayunya dimanfaatkan orang sebagai bahan pengobatan, pewarna, dan minuman penyegar. Hingga abad ke-17 kulit kayunya menjadi bagian dari perdagangan rempah-rempah dari Nusantara ke berbagai tempat di dunia.

Secang dikenal dengan berbagai nama, seperti seupeueng (Aceh), sepang (Gayo), sopang (Toba), lacang (Minangkabau), secang (Sunda), secang (Jawa), secang (Madura), sepang (Sasak), supa (Bima), sepel (Timor), hape (Sawu), hong (Alor), sepe (Roti), sema (Manado), dolo (Bare), sapang (Makasar), sepang (Bugis), sepen (Halmahera selatan), savala (Halmahera Utara), sungiang (Ternate), roro (Tidore), sappanwood (Inggris), dan suou (Jepang). Secang berasal dari Asia Tenggara Kepulauan dan mudah ditemukan di Indonesia. Kulit kayunya dimanfaatkan orang sebagai bahan pengobatan, pewarna, dan minuman penyegar (Anonim, 2010).

Secang tumbuh liar dan kadang ditanam sebagai tanaman pagar atau pembatas kebun. Panenan kayu dapat dilakukan mulai umur 1-2 tahun. Kayunya bila digodok memberi warna merah gading muda, dapat digunakan untuk pengecatan, memberi warna pada bahan anyaman, kue, minuman atau sebagai tinta. Batang kayu secang dapat dipotong-potong, namun secara umum kayu secang sering dijual di dalam bentuk serutan. Tanaman secang tumbuh pada tempat terbuka sampai ketinggian 1.000 m dpl., seperti di daerah pegunungan yang berbatu tetapi tidak terlalu dingin. Secang tumbuh liar dan kadang ditanam sebagai tanaman pagar atau pembatas kebun. Perdu atau pohon kecil, tinggi 5-10 m, batang dan percabangannya berduri tempel yang bentuknya bengkok dan letaknya tersebar, batang bulat, warnanya hijau kecoklatan. Daun majemuk menyirip ganda, panjang 25-40 cm, jumlah anak daun 10-20 pasang yang letaknya berhadapan. Anak daun tidak bertangkai, bentuknya lonjong, pangkal rompang, ujung bulat, tepi rata dan hampir sejajar, panjang 10-25 mm, lebar 3-11 mm, warnanya hijau. Bunganya bunga majemuk berbentuk malai, keluar dari ujung tangkai dengan panjang 10-40 cm, mahkota bentuk tabung, warnanya kuning. Buahnya buah polong, panjang 8-10 cm, lebar 3-4 cm, ujung seperti paruh berisi 3-4 biji, bila masak warnanya hitam. Biji bulat memanjang, panjang 15-18 mm, lebar 8-1 1 mm, tebal 5-7 mm, warnanya kuning kecoklatan. Panenan kayu dapat dilakukan mulai umur 1-2 tahun. Kayunya bila digodok memberi warna merah gading muda, dapat digunakan untuk pengecatan, memberi warna pada bahan anyaman, kue, minuman atau sebagai tinta. Perbanyakan engan biji atau stek batang (Anonim, 2010).

Kayu secang bermanfaat untuk mengobati diare, disentri, batuk darah (TBC), luka dalam, sifilis, darah kotor, muntah darah, berak darah, luka berdarah, memar berdarah, malaria, tetanus, tumor, radang selaput lendir mata, pengobatan setelah bersalin, dan lain-lain. Ekstrak kayu secang hasil penapisan mengandung lima senyawa aktif yang terkait dengan flavonoid baik sebagai antioksidan primer maupun antioksidan sekunder (Safitri, 2002 dalam Udju D. Rusdi dkk, 2005). Flavonoid yang terdapat dalam ekstrak kayu secang memiliki sejumlah kemampuan yaitu dapat meredam atau menghambat pembentukan radikal bebas hidroksil, anion superoksida, radikal peroksil, radikal alkoksil, singlet oksigen, hidrogen peroksida (Shahidi, 1999; Miller, 2002 dalam Udju D. Rusdi dkk, 2005). Secara umum pemakaian kayu secang untuk diminum adalah 3-9 g, direbus, sedangkan untuk pemakaian luar, kayu secang direbus, airnya digunakan untuk mencuci luka, luka berdarah atau dipakai untuk merambang mata yang meradang (Anonim, 2010).

Secang mempunyai sifat kimiawi dan efek farmakologis sepat tidak berbau, menghentikan perdarahan, pembersih darah, pengelat, penawar racun dan antiseptik. Kandungan kimia kayu secang adalah asam galat, tanin, resin, resorsin, brasilin, brasilein, d-alfa-phellandrene, oscimene, minyak atsiri. Daun: 0,16%-0,20% minyak atsiri yang berbau enak dan hampir tidak berwarna. Ekstrak kayu secang mempunyai kemampuan anti oksidan sangat nyata paling baik dari pada vitamin C maupun vitamin E, dan mampu meningkatkan SAT dari 2,39-mmol/L menjadi 4,38-7,58 mmol/L (Udju D. Rusdi, 2005).